ALL ABOUT "IKHLAS" (bagian 1)
Apabila kita bertanya kepada seseorang, apakah arti Ikhlas? Jawabannya beragam, ada yang mengatakan bahwa ikhlas itu bebas dan melepaskan beban, merdeka tidak ada ganjalan, apabila memberi tidak pernah mengungkit, bahkan ada yang mengatakan ikhlas itu seperti kalau kita ke belakang... buang air......
Kalau kita mendengar kata ikhlas... rasanya memang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan... Ikhlas bukan perkara mudah untuk melaksanakannya... Perlu suatu proses pembelajaran dari detik ke detik... dari menit ke menit.. dari jam ke jam... dan bahkan sepanjang hayat di kandung badan...
Perjuangan menuju ke-ikhlasan... selalu bersinggungan dengan pergolakan batin dan keimanan.. Untuk itu semua, akhirnya berpulang kepada diri pribadi kita untuk selalu berusaha dan mencoba untuk bersikap ikhlas dalam segala hal....
Dari berbagai jawaban dan pendapat dari beberapa orang... Rasanya menarik untuk dikupas lebih lanjut apa makna kata ikhlas secara lahiriah dan batiniah.....
Yang pertama sebagai seorang Muslimah, saya tentu ingat dengan Al-Qur'an yang di dalamnya ada salah satu surat dengan muatan ikhlas, yaitu QS. Al-Ikhlas. Dari Tafsir Al-Azhar oleh almarhum guru kita BUYA HAMKA, QS. Al-Ikhlas diterjemahkan dan ditafsirkan sebagai berikut :
"DENGAN NAMA ALLOH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG"
1. KATAKANLAH : "DIA ADALAH ALLOH, MAHA ESA"
2. ALLOH ADALAH PERGANTUNGAN
3. TIDAK DIA BERANAK DAN TIDAK DIA DIPERANAKKAN
4. DAN TIDAK ADA BAGI-NYA YANG SETARA, SEORANG JUAPUN
Katakanlah....... Hai Utusan-Ku...
"Dia adalah Alloh, Maha Esa."(ayat 1)

Ini pokok pangkal aqidah, puncak dari kepercayaan.. Mengakui yg dipertuhankan itu Alloh namanya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia.. Dia Maha Esa.. Mutlak Esa.. Tunggal.. Tidak bersekutu yang lain dengan Dia...
Pengakuan atas Kesatuan, atau keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan dan nama-Nya ialah Alloh.. Kepercayaan itulah yang dinamai TAUHID. Berarti menyusun fikiran suci murni, tulus ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu.
Sebab pusat kepercayaan di dalam pertimbangan akal yang sehat, dan berfikir secara teratur, hanya sampai kepada SATU...
Tidak ada yang menyamai-Nya... Tidak ada yang menyerupai_Nya... dan tidak pula ada teman hidup-Nya... Karena mustahillah kalau Dia lebih dari satu... Karena kalau Dia berbilang, terbagilah kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama kurang berkuasa...
"Alloh adalah pergantungan" (ayat 2)
Artinya segala sesuatu itu adalah Alloh yang menciptakan.. sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah bergantung.. Ada atas kehendak-Nya....
Kata Abu Hurairah:
“Arti Ash-Shamadu ialah
segala sesuatu memerlukan dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya,
sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.
Husain bin Fadhal
mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia
kehendaki.”
Muqatil mengartikan: “Yang
Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”
“Tidak Dia beranak, dan
tidak Dia diperanakkan.” (ayat 3)
Mustahil Dia beranak. Yang
memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan
melanjutkan hidupnya... Seseorang yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia
tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya
akan bersambung. Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga
itu. Tetapi seseorang yang hidup, lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu,
besarlah hatinya, karena meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang
menyambung hidupnya.
Oleh sebab itu maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala mustahil memerlukan anak. Sebab Allah hidup terus, tidak
akan pernah mati-mati. Dahulunya tidak berpemulaan dan akhirnya tidak
berkesudahan. Dia hidup terus dan kekal terus, sehingga tidak memerlukan anak
yang akan melanjutkan atau menyambung kekuasaan-Nya sebagai seorang raja yang
meninggalkan putera mahkota.
Dan Dia, Allah itu, tidak
pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah Dia berbapa. Karena kalau dia berbapa,
teranglah bahwa si anak kemudian lahir ke dunia dari ayahnya, dan kemudian ayah
itu pun mati. Si anak menyambung kuasa. Kalau seperti orang Nasrani yang
mengatakan bahwa Allah itu beranak dan anak itu ialah Nabi Isa Almasih, yang
menurut susunan kepercayaan mereka sama dahulu tidak bepermulaan dan sama akhir
yang tidak berkesudahan di antara sang bapa dengan sang anak, maka bersamaanlah
wujud di antara si ayah dengan si anak, sehingga tidak perlu ada yang bernama
bapa dan ada pula yang bernama anak. Dan kalau anak itu kemudian baru lahir,
nyatalah anak itu suatu kekuasaan atau ketuhanan yang tidak perlu, kalau diakui
bahwa si bapa kekal dan tidak mati-mati, sedang si anak tiba kemudian.
“Dan tidak ada bagi-Nya
yang setara, seorang jua pun.” (ayat 4)
Kalau diakui Dia beranak,
tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk
menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau diakui diperanakkan,
tandanya Allah itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapa-Nya mati. Kalau
diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama,
fikiran sihat yang mana jua pun akan mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama
kurang kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi
pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan
dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau
keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasa-Nya, yakni
masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang sempurna ketuhanan
keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah Tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.
Yang Tuhan itu ialah
Mutlak Kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada
bandingan dan ada tiada tandingan. Dan tidak pula ada Tuhan yang nganggur,
belum bertugas sebab bapanya masih ada!
Itulah yang diterima oleh
perasaan yang bersih murni. Itulah yang dirasakan oleh akal cerdas yang tulus. Kalau
tidak demikian, kacaulah dia dan tidak bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini
dinamai pula Surat Al-Ikhlas, artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan
logika, dengan berfikir teratur.
Tersebutlah di dalam
beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula Surat ini
turun: “Shif lanaa rabaka”
ialah karena pernah orang musyrikin itu meminta kepada Nabi (Coba jelaskan
kepada kami apa macamnya Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau
loyangkah?.
Menurut Hadis yang
dirawikan oleh Termidzi dari Ubay bin Ka’ab, memang ada orang musyrikin meminta
kepada Nabi supaya diuraikannya nasab (keturunan atau sejarah) Tuhannya itu.
Maka datanglah Surat yang tegas ini tentang Tuhan.
Abus Su’ud berkata dalam
tafsirnya: “Diulangi nama Allah sampai dua kali (ayat 1 dan ayat 2) dengan
kejelasan bahwa Dia adalah Esa, Tunggal, Dia adalah penggantungan segala
makhluk, supaya jelaslah bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat pokok itu
bukanlah Tuhan. Di ayat pertama ditegaskan Keesaan-Nya, untuk menjelaskan
bersih-Nya Allah dari berbilang dan bersusun, dan dengan sifat Kesempurnaan Dia
tempat bergantung, tempat berlindung; bukan Dia yang mencari perlindungan
kepada yang lain, Dia tetap ada dan kekal dalam kesempurnaan-Nya, tidak pernah
berkurang. Dengan penegasan “Tidak beranak”, ditolaklah kepercayaan setengah
manusi bahwa malaikat itu adalah anak Allah atau Isa Almasih adalah anak Allah.
Tegasnya dari Allah itu tidak ada timbul apa yang dinamai anak, karena tidak
ada sesuatu pun yang mendekati jenis Allah itu, untuk jadi jodoh dan “teman
hidupnya”, yang dari pergaulan berdua timbullah anak.” – Sekian Abus Su’ud.
Imam Ghazali menulis di
dalam kitabnya “Jawahirul-Qur’an” : “Kepentingan Al-Qur’an itu ialah untuk
ma’rifat terhadap Allah dan ma’rifat terhadap hari akhirat dan ma’rifat
terhadap Ash-Shirathal Mustaqim.
Ketiga ma’rifat inilah yang sangat utama pentingnya. Adapun yang lain adalah
pengiring-pengiring dari yang tiga ini. Maka Surat Al-Ikhlas adalah mengandung
satu daripada ma’rifat yang tiga ini, yaitu Ma’rifatullah, dengan
membersihkan-Nya, mensucikan fikiran terhadap-Nya dengan mentauhidkan-Nya
daripada jenis dan macam. Itulah yang dimaksud bahwa Allah bukanlah pula bapa
yang menghendaki anak, laksana pohon. Dan bukan diperanakkan, laksana dahan
yang berasal dari pohon, dan bukan pula mempunyai tandingan, bandingan dan
gandingan.”
Ibnul Qayyim menulis dalam
Zaadul Ma’ad: “Nabi SAW selalu membaca pada sembahyang Sunnat Al-Fajar dan
sembahyang Al-Witir kedua Surat Al-Ikhlas dan Al-Kaafiruun. Karena kedua Surat
itu mengumpulkan Tauhid, Ilmu dan Amal, Tauhid Ma’rifat dan Iradat, Tauhid
I’tiqad dan Tujuan. Surat Al-Ikhlas mengandungi Tauhid I’tiqad dan Ma’rifat dan
apa yang wajib dipandang tetap teguh pada Allah menurut akal murni, yaitu Esa,
Tunggal. Naf’i yang mutlak daripada bersyarikat dan bersekutu, dari segi mana
pun. Dia adalah Pergantungan yang tetap, yang pada-Nya terkumpul segala sifat
kesempurnaan, tidak pernah berkekurangan dari segi mana pun. Naf’i daripada
beranak dan diperanakkan, karena kalau keduanya itu ada, Dia tidak jadi
pergantungan lagi dan Keesaan-Nya tidak bersih lagi. Dan Naf’i atau tidaknya
kufu’, tandingan, bandingan dan gandingan adalah menafikan perserupaan,
perumpamaan ataupun pandangan lain. Sebab itu makna Surat ini mengandung segala
kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala kekuarangan. Inilah dia Pokok
Tauhid menurut ilmiah dan menurut akidah, yang melepaskan orang yang berpegang
teguh kepadanya daripada kesesatan dan mempersekutukan.
Itu sebab maka Surat
Al-Ikhlas dikatakan oleh Nabi Sepertiga Qur’an. Sebab Al-Qur’an berisi Berita
(Khabar) dan Insyaa. Dan Insyaa mengandung salah satu tiga pokok(1) perintah, (2) larangan,
(3) boleh atau diizinkan.
Dan Khabar dua pula:
(1) Khabar yang
datang dari Allah sebagai Pencipta (Khaliq) dengan nama-nama-Nya dan
hukum-hukum-Nya.
(2) Khabar dari makhluk-Nya, maka diikhlaskanlah oleh makhluk
di dalam Surat Al-Ikhlas tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, sehingga
jadilah isinya itu mengandung Sepertiga Al-Qur’an.
Dan dibersihkannya pula
barangsiapa yang membacanya dengan Iman, daripada mempersekutukan Allah secara
ilmiah. Sebagaimana Surat Al-Kaafiruun pun telah membersihkan dari syirik
secara amali, yang timbul dari kehendak dan kesengajaan.” – Sekian Ibnul
Qayyim.
Ibnul Qayyim menyambung
lagi: “Menegakkan akidah ialah dengan ilmu. Persediaan ilmu hendaklah sebelum
beramal. Sebab ilmu itu adalah Imam, penunjuk jalan, dan hakim yang memberikan
keputusan di mana tempatnya dan telah sampai di mana. Maka “Qul Huwallaahu
Ahad” adalah puncak ilmu tentang akidah. Itu seba maka Nabi mengatakannya
sepertiga Al-Qur’an. Hadis-hadis yang mengatakan demikian boleh dikatakan
mencapai derajat mutawatir. Dan “Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya
dengan seperempat Al-Qur’an. Dalam sebuah Hadis dari Termidzi, yang dirawikan
dari Ibnu Abbas dijelaskan: “Idzaa Zulzilatil Ardhu” sama nilainya dengan
separuh Al-Qur’an. “Qul Huwallahu Ahad” sama dengan sepertiga Al-Qur’an dan
“Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat Al-Qur’an.
Al-Hakim merawikan juga
Hadis ini dalam Al-Mustadriknya dan beliau berkata bahwa Isnad Hadis ini
shahih.
***